Monday, September 20, 2004

Mr. Get Lucky

Gelar itu serasa melekat ke tubuh, ke muka dan seluruh badan. Lulus ujian, dibilang get lucky. Dibiayain ikut seminar, dibilang get lucky. Lulus beasiswa, dibilang get lucky. Sampe dapat banyak uangpun, tetap dibilang get lucky. Heran saya, heran, begitu pikir saya, tuan yang dibilang penuh dengan keberuntungan…
Jalan-jalan di Italy 3 minggu gratis, juga dibilang get lucky. Melihat stadion Olympiade dan jalan-jalan di pusat perbelanjaan di Plaka, lagi-lagi gratis, lagi-lagi dibilang get lucky. Nah, sampe thesis ke Philippines pun, dibilang karena keberuntungan, get lucky. Nah, hidup berarti cuman dari keberuntungan dong??? Ah, nggak ah, biasa aja. Anaknya tuan Long aja, ke Singapura seperti ke Hengelo aja (start dari Enschede ya!), bisa naik sepeda, betapa mudahnya. Anaknya pak dokter bedah itu, udah dari umur 12 tahun jalan-jalan ke benua Eropa. Dan sampai berumur 21 tahun, sudah beberapa Negara Eropa telah di jalaninya. Bukan dalam rangka study, tapi dalam rangka liburan, jalan-jalan bo’…
Eits, jangan salah, tidak seperti kebanyakan orang (termasuk si Tuan Get Lucky) yang kalau jalan-jalan di Eropa mematok 5 Euro maksimal buat sekali makan (bahkan kadang bermodal sandwich made in sendiri buat lunch plus air putih gratis dari pancuran di jalan-jalan di Rome), anak pak dokter makannya di restoran, man!…. Sekali makan paling tidak 30 Euro. Itu ga sendiri, tapi bertiga, sama mama dan pak dokter. Ah, keluarga bahagia, bukan cuman materialistis, tapi emang bahagia kok. Ya, anak satu-satu….

Randy, teman diskusi musik. Beratus mungkin beribu CD original (original, bukan bajakan!), setelah lulus S1, dengan entengnya bertanya: “kawan, baiknya lanjut sekolah dimana yah, Australia atau Singapur?”
“Eropa”, dengan bangganya saya menjawab.
“Tapi kejauhan, nanti kalau mau pulang, gimana?”. UH, basic mummy child (dasar anak mama)
Sekolah sih dimana aja yah. The Indonesian top 5 universities kan juga universitas-universitas bagus. Dengan biaya yang tidak terlalu menggila dibanding dengan kuliah di luar negeri. Tapi kan nanti “kaya” nya tidak kelihatan, kalo kuliah di Indonesia. Hahahaha…. Adanya juga gengsi… Padahal kalo dibanding-bandingkan, lulusan s2 dari universitas di Indonesia juga sama dengan lulusan universitas dari luar negeri. Bedanya, mungkin masalah gelar aja. Satu MSi, satu nya MSc. Satunya MT, satunya M.Eng. Beda gengsi tentu saja dan beda konsumsi konser musik. Kalo S2 di Indonesia, mungkin harus cukup puas dengan nonton konser akbar tahunan Jazz Goes To Campus. Tapi kalo kuliah di luar negeri (utamanya Eropa), mainannya North Sea Jazz…Padahal kadang juga ada yang kurang paham dengan sense of Jazz, cuman tidak lebih untuk foto-foto dengan latar belakang North Sea Jazz dan kemudian beli kaos, dan nanti kalo balik di Indonesia, ada yang bisa dibanggakan, haha... Ups….. I don’t mean it!

Dasar masyarakat negara berkembang, segala yang berhubungan dengan luar negeri adalah menjadi nomer satu dibanding dengan Negara Indonesia. Lihatlah persepsi masyarakat secara umum menyambut lulusan S2 dari Indonesia dan luar negeri. “Aura”nya beda… Sambutannya juga beda…. Konsekuensinya, siap-siaplah di komentari seperti “Oh, ini toh lulusan luar negeri”, atau “oh, segitu toh lulusan luar negeri?”
Dan bahasa pembelaan yang terkadang menyudutkan jika di pahami baik-baik, akan muncul seperti “Wajarlah, S2 nya kan cuman di Bandung, beda dengan di Andri, S2 di Belanda”. Atau ungkapan bunuh diri, “Anu pak, saya kemaren (cuman) kuliah di Jakarta, ga lulus beasiswa AMINEF”
Lho, kok pake “anu pak”. Emang kemaluan? Disamarkan dengan anu? Siapa bilang kuliah di Indonesia merupakan kemaluan???

Mungkin masalah ketidakpercayaan, atau over kekayaan. Lihatlah berapa persen bapak-bapak baru memikirkan bagaimana nanti anak-anaknya bisa kuliah di luar negeri. Padahal mereka terpelajar. Harusnya mungkin pikirannya lebih bagus di set ke sebuah pertanyaan mulia tentang pendidikan di Indonesia seperti ini: “Kapan yah, pendidikan di Indoensia bisa sama dengan pendidikan di Amerika, UK, dll dll? Jadi pertanyaan dasar seperti: ”Bagaimana yah, supaya anakku nanti bisa kuliah di luar negeri seperti om ANU, misalnya yang dapat beasiswa ke Belanda?” tidak akan se-populer dengan pertanyaan nomer 1 tadi, yang jelas-jelas menunjukkan harapan ke dunia pendidikan Indonesia.
Masalahnya, kecendrungan masyarakat lebih mengarah ke pertanyaan yang terakhir. Entah beberapa persen yang lebih concern ke pertanyaan pertama. Mungkin hanya dari kalangan pendidik yang benar-benar educating dan concern ke dunia pendidikan Indonesia. Sayang yah, mental nya bisa dibaca dengan pertanyaan. Mental murah, dan tidak membanggakan. Hahahaha…..

Kebanggaan hidup, bentuknya seperti apa sih? Harta? Gelar?
Kalau keluarga bahagia sih, udah pasti yah. Semua menjadikannya patokan. Tapi kembali lagi tidak bakal ada yang standard. Lihat saja anak pak dokter bedah. Apapun bisa dimiliki, kemanapun bisa pergi… Anak satu-satu. Disuatu sisi, pasti memiliki rasa sepi. Dirumah yang penuh dengan souvenirs dari luar negeri, keinginan untuk memiliki anggota rumah yang lain pasti ada…. Disisi lain, di rumah anak pegawai negeri, anaknya bisa empat, rumahnya rame, bisa bermain kartu sambil makan pisang goreng buatan ibu… Tapi dengarlah suara hati mereka, betapa ingin bisa liburan ke Bali, nginap di hotel, atau sekalian ke Singapura, dan menceritakan ke teman-teman sekelas…. Dan terkadang, setelah sadar dengan status kepala keluarga, maka gumaman lah yang muncul, “Ah Tuhan, saya cuman anak pegawai kecil, dan saya sudah bisa ke luar negeri, Terima kasih ya Tuhan”. Ini benar benar keberuntungan buat saya”.

Keberuntungan??? Kenapa mesti menyebutkan kata itu? Kenapa tidak menyebut buah Ketekunan, keberhasilan dan mimpi-mimpi yang dibina dan dibentuk jalannya??? Tidak adil dong, kalau semuanya dikatakan Lucky. Meskipun faktor beruntung itu akan tetap bermain penting dalam kemajuan…. Tapi usaha lah yang berperan, dan mimpi apa yang ada dibalik mendapatkan seluruh mimpi itu….

Apapaun namanya, keberuntungan atau kesuksesan, Mr. Get Lucky, hadirkan lagi buah-buah lain yang masih di pupuk pohonnya….
(Mr. Get lucky himself tidak menyebutnya kesuksesan, tapi mimpi yang nyata….)

room 226, Villa Caceres, the Philippines.
September 20, 2004



1 Comments:

Blogger Merlyna said...

Mending jadi Mr. Get Lucky daripada Mr. Get unLucky apalagi kalo Mr. Bad Luck atau Mrs. Lucky alias Nyonya Luki..re-kire aje.
So, enjoy your being lucky. Walaupun being lucky itu ngga pernah semata-mata lucky. Dia adalah mata rantai dari banyak faktor dan proses yang menuntun pada si lucky... walaupun kadang-kadang yang menuntun itu kagak tau jalan atau sok tau... eh, ini nyambung ngga sih?
Pokoknya mah... hidup Mr Get Lucky!

12:48 AM

 

Post a Comment

<< Home