Tuesday, September 13, 2005

Kunang-kunang

Aku menutup mata dan beberapa saat menenggelamkan diri dalam kegelapan yang ada dalam ingatanku. Bunyi angin terdengar lebih jelas dari pada biasanya. Meskipun angin tidak bertiup kencang, tapi berhembus di sekitar tubuhku meninggalkan bekas yang jelas dan aneh. Ketika kubuka mata, kegelapan malam musim panas sedikit lebih pekat.

Kuambil kunang-kunang itu, lalu kuletakkan di atas bibir pemasok air yang menonjol kurang lebih tiga centimeter. Tampaknya, kunang-kunang tidak dapat memahami kondisi yang dihadapinya. Ia sambil terseok-seok mengitari baut, meletakkan kakinya pada cat yang merekah bagi borok yang sudah kering.

Aku tetap memandangi kunang-kunang itu. Aku dan kunang-kunang itu tetap geming dalam waktu cukup lama. Hanya angin yang bertiup melintasi tubuh kami. Dalam kegelapan, pohon bambu itu menggesek-gesek daunnya yang tak terhitung jumlahnya. Sampai kapanpun aku terus menunggu.

Setelah waktu cukup lama berlalu, kunang-kunang itu terbang. Seolah teringat sesuatu, tiba-tiba kunang-kunang itu melebarkan sayapnya, dan saat berikutnya ia mengapung dalam kegelapan. Setelah kunang-kunang itu menghilang, jejak sinarnya masih bisa kulihat hingga beberapa lama. Dalam gelap yang pekat, sinar lemah kecil itu terus melayang-layang seperti roh yang telah kehilangan tempat tujuannya.

Beberapa kali aku coba ulurkan tangan ke dalam kegelapan itu. Jariku tak meraba apapun. Sinar kecil itu selalu berada sedikit di depan jariku.

Buat kunang-kunang Murakami,
mungkin tidak semua ingin menjadi besar, dan tidak bercahaya



In the dark, on the dark brown corner.
13 September 2005

0 Comments:

Post a Comment

<< Home