Koran lokal itu sudah terbaca,
Huh, mengapa mesti baca? Apa yang kudapat
selain gerakan perpindahan mata dari satu huruf ke huruf yang lain.
Itu saja, tidak ada semangat!
Menyesal aku, mengutuk, namun kemudian aku tertawa akan aku!
Membuai ku dalam hayalan bacaan yang lama, yang aku sendiri tak mengerti,
hanya gambar mati berwarna kiasan, tapi aku suka, dan aku belajar.
Aku teriak melihat halaman depannya!
Kutermenung dan kubangga, kutatap lama gambar itu.
Dun… aku disini
dun.
Kamu tidak sadar akan kehadiranku,
dun?
Sadar, kudengar
dun berbisik kecil, “kurasakan api kamu”
(
Dun mengirimkan bunga esok harinya, dan kupakai di telingaku)
Aku akan jauh
dun, dan kamu tidak akan menangis melihatku pergi, bukan?
Dan
dun pun menangis sesunggukan, ku ingat
banget (kuingat cara kamu berkata
banget)
Saya tidak mau takut, begitu katamu kepadaku,
Dan kamu tidak boleh takut, begitu kataku kepadamu.
Siapa peduli aku takut? Begitu tanyaku ke pada mu.
Jika nanti aku kesana
dun, aku akan menjumpai mu lagi,
Membaca koranmu, melihat gambar, dan menikmati seluruh pemandangan dirimu.
Hanya sebagian yang tersibak, kusibak, dan kamu sibak.
Dan aku masih sangat penasaran dengan sisa.
Menangis aku ingin berjalan dengan mu
dun,
Jika kamu bisa rasakan, maka getaran di hatiku ini sangat berasa hebat
Dun, aku masih belum puas
bangetDan
dun, kamu jangan menangis melihat aku jauh.
(kamu tidak akan menangis, aku tahu)
Tapi jangan tertawa melihat aku terseok-seok mengenangmu, sedih.
Karena ku berjuang buat kamu
dun,
Meski kamu setuju namun tak bahagia, mengkerut.
Indonesia's Newfoundland 07 Mei 2005, 05:41 P.M
Buat
dun, Dunatelly Mary Antonionette.